SERTIFIKASI DAN TUNTUTAN PEMENUHAN 24 JAM TATAP MUKA SERTA SULITNYA NAIK PANGKAT
.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru sebagai pendidik merupakan tenaga profesional. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat profesi pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi dan bagi guru yang telah mendapat sertifikat pendidik akan diberikan tunjangan profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa beban kerja guru mengajar sekurang-kurangnya 24 jam dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan mengamanatkan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi, dan telah memenuhi beban kerja mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
Akan tetapi tidak semua guru berada pada kondisi ideal dengan beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu. Hal itu sering terjadi dikarenakan di sekolah tersebut terdapat beberapa guru yang mengampu mata pelajaran sejenis dan menyebabkan guru harus berbagi dengan rekan guru yang lain. Atau memang porsi jam pelajaran tersebut tidak mencukupi, sebagai contoh guru PKN yang mengajar di sebuah sekolah dengan 3 kelas paralel atau 9 kelas dalam satu sekolah, jatah mengajarnya dalam struktur KTSP hanya 2 jam pelajaran x 9 kelas = 18 jam, maka guru tersebut masih kurang 6 jam pelajaran, bagaimana bila ada lebih dari satu guru mata pelajaran yang sama?, dan kondisi ini riil terjadi di lapangan. Demi perjuangan untuk memenuhi beban mengajar 24 jam per minggu ini, banyak guru yang lantas mencari tambahan mengajar di sekolah lain baik sekolah yang levelnya sama maupun tidak sama. Banyak guru SMA menambah jam mengajar di SMP atau bahkan di SD.
Permasalahan baru dari keadaan ini adalah kesulitan membagi waktu. Ketika sekolah induk maupun sekolah tambahan tempat guru memenuhi beban 24 jam tatap muka menuntut seorang guru untuk total dalam mengajar dan mengabdi di sana. Sekolah induk maupun sekolah tambahan tidak mau dinomorduakan, padahal tugas seorang guru bukan hanya mengajar, guru juga harus ikut terjun dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang ada di sekolah. Bagaimana jadinya bila dalam saat bersamaan harus menghadiri kegiatan di dua sekolah berbeda?. Belum lagi pandangan dan pemikiran yang berkembang di masyarakat ketika melihat kesejahteraan guru yang bukan lagi seperti sosok “oemar bakri”, sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Iwan Fals yang menggambarkan seorang guru, dengan sepeda kumbangnya dan dengan keadaan yang serba memprihatinkan .
Guru hari ini mendapat kesejahteraan yang lebih dengan berbagai tunjangan termasuk program sertifikasi guru. Pihak non-guru merasa iri dan seakan tidak adil. Mereka mengatakan, guru mendapat sertifikasi, dan mendapat libur lebih. Pandangan seperti itu adalah salah. Pekerjaan seorang guru, bukan hanya duduk, bukan hanya mengajar dan atau mendidik, tapi setumpuk pekerjaan yang harus dibawa pulang seusai mengajar. Bayangkan dengan aturan jam tatap muka minimal 24 jam per minggu, maka bagi yang memiliki jam mata pelajaran bidang studi hanya 2 jam per minggu, maka guru tersebut harus manghadapi 12 kelas, jika satu kelas terdiri dari 25 siswa, maka per minggu guru tersebut akan menghadapi/mengurusi 300 siswa. Coba bayangkan jika satu minggu 12 kelas ini masing-masing diberi soal evaluasi 5 nomor saja dengan model pemeriksaan hasil jawaban sistem bobot, maka guru tersebut akan memeriksa/membaca/menganalisa 1500 soal dengan sistem bobot nilai, yang berdasarkan pengalaman, jika diperiksa dibutuhkan paling cepat 2 menit per nomor soal. Artinya dibutuhkan 3000 menit atau 2 hari lebih tiap minggunya hanya untuk memeriksa hasil evaluasi setiap pertemuan, belum tugas-tugas yang lain, bukankah guru yang baik harus menulis apa yang dilakukan dan melakukan apa yang ditulis. Contoh ini menegaskan bahwa keliru jika dikatakan pekerjaan guru adalah pekerjaan mudah, mendapat tunjangan tinggi dengan libur beruntun.
Pemenuhan jam wajib mengajar terkait erat dengan pengajuan PAK (yang baru) yang akan diberlakukan tahun 2013 nanti. Oleh karena hal tersebut, agar pengajuan PAK tidak terkendala, pihak sekolah harus sudah merancang dari sekarang agar jam wajib mengajar guru minimal 24 jam per minggu, mungkinkah?. Khusus untuk yang mendapat tugas tambahan, pemenuhan jam disesuaikan dengan PP 74 Tahun 2008. Pada Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru yang diterbitkan Dirjen PMPTK berkaitan dengan tugas tambahan guru dijelaskan sebagai berikut:
Kesimpulannya, peraturan baru ini bisa saja akan semakin membuat guru terpacu untuk menyiapkan diri semaksimal mungkin. Atau, hal yang paling mencemaskan adalah muncul sikap apatis seorang guru yang mungkin saja selama ini terlanjur gembira karena bisa menikmati tunjangan sertifikasi dan fungsionalnya, kini berubah menjadi duka karena ternyata begitu sulitnya untuk urusan kenaikan pangkatnya. Artinya, banyak guru yang harus pasrah dengan pangkat yang disandangnya selama bertahun-tahun. Celakanya lagi, guru yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam beberapa kurun waktu tertentu dalam pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya akan dikenakan sanksi berupa pencabutan tunjangan profesi serta tunjangan fungsionalnya. Karena setiap jenjang kenaikan harus memiliki nilai untuk ke penelitian.
Dalam urusan kenaikan pangkat bagi seorang guru telah mengalami perubahan yang sangat drastis dibandingkan dengan kenaikan pangkat tahun-tahun sebelumnya. Pengaturan kenaikan pangkat guru telah mengalami tiga fase. Fase pertama adalah kenaikan pangkat otomatis, yaitu dalam kurun 4 tahun sekali. Hal ini mirip dengan kenaikan pangkat pada jenjang struktural. Kenaikan pangkat tersebut kemudian diganti pemerintah dengan sistem perhitungan angka kredit karena apabila tetap diberlakukan, maka banyak guru yang akan dengan mudah pensiun pada golongan IVe. Fase selanjutnya adalah kenaikan pangkat yang menggunakan angka kredit kumulatif (sesuai dengan Permenpan Nomor 84/1993 dan Permendilnas Nomor 025 tahun 1995). Kenaikan pangkat ini lebih bersifat administratif karena besarnya poin angkat kredit lebih banyak ditunjukkan oleh prestasi kuantitas administrasi yang dihasilkannya, mulai dari kegiatan utama seorang guru seperti menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, melaksanakan evaluasi belajar, dan seterusnya. Kenaikan pangkat ini pada akhirnya diganti pemerintah karena disinyalir masih banyak guru yang hanya sekedar melengkapi bukti administrasi saja yang notabene dianggap fiktif. Fase ketiga adalah kenaikan pangkat guru yang menggunakan PKG (Penilaian Kinerja Guru), yang akan diberlakukan efektif mulai awal tahun 2013 nanti. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 35 tahun 2010, sebagai tindaklanjut dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 16 tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru sebagai pendidik merupakan tenaga profesional. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat profesi pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi dan bagi guru yang telah mendapat sertifikat pendidik akan diberikan tunjangan profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa beban kerja guru mengajar sekurang-kurangnya 24 jam dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan mengamanatkan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi, dan telah memenuhi beban kerja mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
Akan tetapi tidak semua guru berada pada kondisi ideal dengan beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu. Hal itu sering terjadi dikarenakan di sekolah tersebut terdapat beberapa guru yang mengampu mata pelajaran sejenis dan menyebabkan guru harus berbagi dengan rekan guru yang lain. Atau memang porsi jam pelajaran tersebut tidak mencukupi, sebagai contoh guru PKN yang mengajar di sebuah sekolah dengan 3 kelas paralel atau 9 kelas dalam satu sekolah, jatah mengajarnya dalam struktur KTSP hanya 2 jam pelajaran x 9 kelas = 18 jam, maka guru tersebut masih kurang 6 jam pelajaran, bagaimana bila ada lebih dari satu guru mata pelajaran yang sama?, dan kondisi ini riil terjadi di lapangan. Demi perjuangan untuk memenuhi beban mengajar 24 jam per minggu ini, banyak guru yang lantas mencari tambahan mengajar di sekolah lain baik sekolah yang levelnya sama maupun tidak sama. Banyak guru SMA menambah jam mengajar di SMP atau bahkan di SD.
Permasalahan baru dari keadaan ini adalah kesulitan membagi waktu. Ketika sekolah induk maupun sekolah tambahan tempat guru memenuhi beban 24 jam tatap muka menuntut seorang guru untuk total dalam mengajar dan mengabdi di sana. Sekolah induk maupun sekolah tambahan tidak mau dinomorduakan, padahal tugas seorang guru bukan hanya mengajar, guru juga harus ikut terjun dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang ada di sekolah. Bagaimana jadinya bila dalam saat bersamaan harus menghadiri kegiatan di dua sekolah berbeda?. Belum lagi pandangan dan pemikiran yang berkembang di masyarakat ketika melihat kesejahteraan guru yang bukan lagi seperti sosok “oemar bakri”, sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Iwan Fals yang menggambarkan seorang guru, dengan sepeda kumbangnya dan dengan keadaan yang serba memprihatinkan .
Guru hari ini mendapat kesejahteraan yang lebih dengan berbagai tunjangan termasuk program sertifikasi guru. Pihak non-guru merasa iri dan seakan tidak adil. Mereka mengatakan, guru mendapat sertifikasi, dan mendapat libur lebih. Pandangan seperti itu adalah salah. Pekerjaan seorang guru, bukan hanya duduk, bukan hanya mengajar dan atau mendidik, tapi setumpuk pekerjaan yang harus dibawa pulang seusai mengajar. Bayangkan dengan aturan jam tatap muka minimal 24 jam per minggu, maka bagi yang memiliki jam mata pelajaran bidang studi hanya 2 jam per minggu, maka guru tersebut harus manghadapi 12 kelas, jika satu kelas terdiri dari 25 siswa, maka per minggu guru tersebut akan menghadapi/mengurusi 300 siswa. Coba bayangkan jika satu minggu 12 kelas ini masing-masing diberi soal evaluasi 5 nomor saja dengan model pemeriksaan hasil jawaban sistem bobot, maka guru tersebut akan memeriksa/membaca/menganalisa 1500 soal dengan sistem bobot nilai, yang berdasarkan pengalaman, jika diperiksa dibutuhkan paling cepat 2 menit per nomor soal. Artinya dibutuhkan 3000 menit atau 2 hari lebih tiap minggunya hanya untuk memeriksa hasil evaluasi setiap pertemuan, belum tugas-tugas yang lain, bukankah guru yang baik harus menulis apa yang dilakukan dan melakukan apa yang ditulis. Contoh ini menegaskan bahwa keliru jika dikatakan pekerjaan guru adalah pekerjaan mudah, mendapat tunjangan tinggi dengan libur beruntun.
Pemenuhan jam wajib mengajar terkait erat dengan pengajuan PAK (yang baru) yang akan diberlakukan tahun 2013 nanti. Oleh karena hal tersebut, agar pengajuan PAK tidak terkendala, pihak sekolah harus sudah merancang dari sekarang agar jam wajib mengajar guru minimal 24 jam per minggu, mungkinkah?. Khusus untuk yang mendapat tugas tambahan, pemenuhan jam disesuaikan dengan PP 74 Tahun 2008. Pada Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru yang diterbitkan Dirjen PMPTK berkaitan dengan tugas tambahan guru dijelaskan sebagai berikut:
- Tugas sebagai Kepala Sekolah ekuivalen dengan 18 jam, sehingga minimal wajib mengajar 6 jam
- Tugas sebagai Wakil Kepala Sekolah ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
- Tugas sebagai Kepala Perpustakaan ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
- Tugas sebagai Kepala Laboratorium ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
- Tugas sebagai Ketua Jurusan Program Keahlian ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
- Tugas sebagai Kepala Bengkel ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
- Tugas sebagai Pembimbing Praktik Kerja Industri ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
- Tugas sebagai Kepala Unit Produksi ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
- Guru yang mengajar pada Kejar Paket A, B, atau C tidak bisa diperhitungkan jam mengajarnya
- Guru Mapel SMP (selain Penjasorkes dan Agama) tidak boleh mengajar di SD, karena guru SD pada dasarnya adalah guru kelas
- Penambahan jam pada struktur kurikulumpaling banyak 4 jam per minggu berdasarkan standar isi KTSP
- Program pengayaan atau remedial teaching tidak diperhitungkan jam mengajarnya
- Pembelajaran ekstrakurikuler tidak diperhitungkan jam mengajarnya, meskipun sesuai dengan sertifikasi mata pelajaran
- Pemecahan Rombel dari 1 kelas menjadi 2 kelas diperbolehkan, dengan syarat dalam 1 kelas jumlah siswa minimal 20
- Pembelajaran Team teaching tidak diperbolehkan kecuali untuk mata pelajaran Produktif di SMK
- Guru Bahasa Indonesia yang mengajar Bahasa Jawa, jam mengajar Bahasa Jawanya tidak diperhitungkan. Mata Pelajaran yang serumpun adalah IPA dan IPS dan hanya boleh untuk tingkat SMP
- Pengembangan diri siswa tidak diperhitungkan jam mengajarnya
Kesimpulannya, peraturan baru ini bisa saja akan semakin membuat guru terpacu untuk menyiapkan diri semaksimal mungkin. Atau, hal yang paling mencemaskan adalah muncul sikap apatis seorang guru yang mungkin saja selama ini terlanjur gembira karena bisa menikmati tunjangan sertifikasi dan fungsionalnya, kini berubah menjadi duka karena ternyata begitu sulitnya untuk urusan kenaikan pangkatnya. Artinya, banyak guru yang harus pasrah dengan pangkat yang disandangnya selama bertahun-tahun. Celakanya lagi, guru yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam beberapa kurun waktu tertentu dalam pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya akan dikenakan sanksi berupa pencabutan tunjangan profesi serta tunjangan fungsionalnya. Karena setiap jenjang kenaikan harus memiliki nilai untuk ke penelitian.
Dalam urusan kenaikan pangkat bagi seorang guru telah mengalami perubahan yang sangat drastis dibandingkan dengan kenaikan pangkat tahun-tahun sebelumnya. Pengaturan kenaikan pangkat guru telah mengalami tiga fase. Fase pertama adalah kenaikan pangkat otomatis, yaitu dalam kurun 4 tahun sekali. Hal ini mirip dengan kenaikan pangkat pada jenjang struktural. Kenaikan pangkat tersebut kemudian diganti pemerintah dengan sistem perhitungan angka kredit karena apabila tetap diberlakukan, maka banyak guru yang akan dengan mudah pensiun pada golongan IVe. Fase selanjutnya adalah kenaikan pangkat yang menggunakan angka kredit kumulatif (sesuai dengan Permenpan Nomor 84/1993 dan Permendilnas Nomor 025 tahun 1995). Kenaikan pangkat ini lebih bersifat administratif karena besarnya poin angkat kredit lebih banyak ditunjukkan oleh prestasi kuantitas administrasi yang dihasilkannya, mulai dari kegiatan utama seorang guru seperti menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, melaksanakan evaluasi belajar, dan seterusnya. Kenaikan pangkat ini pada akhirnya diganti pemerintah karena disinyalir masih banyak guru yang hanya sekedar melengkapi bukti administrasi saja yang notabene dianggap fiktif. Fase ketiga adalah kenaikan pangkat guru yang menggunakan PKG (Penilaian Kinerja Guru), yang akan diberlakukan efektif mulai awal tahun 2013 nanti. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 35 tahun 2010, sebagai tindaklanjut dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 16 tahun 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar